A.
Asal-Usul Dayak Bidayuh

Pasukan Perang Suku Dayak Bidayuh
Sebagaimana diceritakan oleh Kepala Adat Suku Dayak
Bidayuh bapak Amin, bahwa nenek moyang Suku Dayak Bidayuh berasal dari Sungkung
yang mendiami Gunung Sijakng Singulikng di wilayah Kabupaten Bengkayang yang
bernama Siang Nuk Nyinukng. Keturunan-keturunan Siang Nuk Nyinukng yang
menyebar atau berpindah ke daerah-daerah, yaitu:
1.
Lipot Limang pindah dan masuk ke wilayah Sebujit
Kecamatan Siding Kabupaten Bengkayang.
2.
Biu Samak Milib pindah ke wilayah Janggoi Sikalo,
Subah Belatak, Jagoi Bung Jawid, yaitu suatu daerah di wilayah Bau Serawak
Malaysia.
3.
Slutok Slunukng pindah ke daerah Menyuke Kabupaten
Landak.
4.
Buta’ Sebangam masuk dan pindah ke wilayah Lara Senayukng
(suku Bekatik), Sangau Beliok (Kampung Riok).
5.
Aloi No’nian pindah ke daerah Stas di wilayah Serawak
Malaysia.
6.
Maka’, Kos Mu’Layankng dan Gonkng Maluoi pindah ke
daerah Gumbang Serawak Malaysia.
7.
Mangang masuk dan pindah ke wilayah Siding Kecamatan Siding
Kabupaten Bengkayang.
8.
Titi Ayunt pindah ke daerah Guun Serawak Malaysia.
9.
Obos masuk ke
daerah Trenggos Serawak Malaysia.
10.
Tu’Laju pindah ke daerah Biak Serawak Malaysia.
11.
Asokng Boas masuk dan pindah ke wilayah Blimbant
Serawak Malaysia.
Keturunan Lipot Limang inilah yang akhirnya dikenal sebagai
Suku Dayak Bidayuh yang mendiami
Desa Hli Bue di Kecamatan Siding Kabupaten Bengkayang. Salah satu
penyebab keturunan Siang Nuk Nyinukng ini keluar dan menyebar dari Gunung
Sijakng Singulikng adalah upaya mereka mencari lahan yang subur yang akan
dimanfaatkan untuk kegiatan bercocok tanam. Faktor lain adalah mereka sering
terlibat perang saudara karena sengketa tanah atau perebutan wilayah kekuasaan.
Perang saudara ini sering dilakukan dengan cara mengkayau
kepala musuh. Kayau atau memenggal kepala musuh di masyarakat Dayak saat
ini sudah tidak lagi berlaku karena
sudah masuk ke jaman modern dan mengerti Hukun dan adat-istiadat. Hal ini
seiring dengan kemajuan peradaban manusia di Kalimantan yang mulai mengenal
ajaran agama. Selain itu masing-masing suku di Pulau Kalimantan mengadakan
suatu perjanjian yang diprakarsai juga oleh bangsa Belanda yang dikenal dengan
kesepakatan Tumbang Hanui.
B.
SUKU DAYA SUNGKUNG (Bi Sikukng)
Suku Dayak bi
Sikukng
atau Suku Dayak orang Sungkung, adalah sub suku Dayak Rumpun Bidayuh
yang bermukim di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau menempati 2 kampung
yaitu Senutul dan
Pool. Selain itu ada yang bermukim di Kabupaten Bengkayang, yang terdiri dari 7 kampung yaitu: Kampung
Sungkung Senoleng, Sungkung Akit, Sungkung Kado'ok, Sungkung Lu’u, Sungkung Medeng, Sungkung
Senebeh dan Sungkung Daun (Batu Ampar).
Sedangkan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi adalah Bahasa Begais,
walaupun mereka terpencar di dua kabupaten yang berbeda dan negara yang berbeda
mereka berasal dari satu nenek moyang yang sama.
C.
Jembatan Gantung 50 Meter ini Hanya Dibangun Dalam 1 Hari
Ekspedisi
Sungkung. Jika Candi Prambanan yang terkenal tersebut konon hanya di
bangun dalam tempo satu malam, meskipun tak satupun hal yang dapat
membuktikannya, maka Jembatan Gantung sepanjang 50 meter ini nyata-nyata
berhasil dibangun hanya dalam waktu satu hari saja. Incredible! Adalah penduduk daerah Sungkung yang
merupakan penduduk asli Kalimantan sub suku
Dayak Bidayuh yang menghuni kawasan dataran tinggi puncak bukit dan dataran
tinggi gunung Sungkung di perbatasan Sarawak Malaysia dengan Kalimantan Barat
Indonesia yang mampu melakukan hal tersebut. Pemukiman ini terletak di
Kabupaten Bengkayang dan
Sanggau Kalimantan Barat dan sering disebut sebagai Sungkung Kompleks,
terdiri dari 6 kampung, yaitu kampung Sungkung Batu Ampar, Sungkung Senoleng, Sungkung Akit, Sungkung
Lu’u, Sungkung Medeng, dan Sungkung
Senebeh . Sedangkan yang
dari Kabupaten Sanggau, Kecamatan Entikong, yaitu terdiri 2 Kampung Senutul dan
Pool. Pemukiman ini nyaris terisolir, sebab tidak ada jalan kendaraan
darat menuju kampung tersebut.
Satu-satunya akses adalah melewati Sungai Sekayam yang penuh riam dan jeram
dengan waktu tempuh sekitar 8 jam perjalanan menggunakan Sampan (Perahu) motor tempel dari pelabuhan Entikong
di perbatasan Malaysia sampai
kesungkung Medeng yang udah menjadi pelabuhan terakhir dibagian hulu Sungai
Kekayan. Sesangkan
ada juga akses jalan darat dari pelapuhan Sampan (Perahu) Pertama di Desa Suruh
Tembawang dan juga tempat pembelanja orang-orang Sungkung yang dikunjungi
setiap mingu sekali (hari Sabtu dan Minggu), dengan berjalan kaki sampai 3-5
jam menuju Kampung-Kampung Sungkung Kompleks, yang melewati kampung Pool , Senutul, Batu Ampar, Senoleng, sampai
yang terjauh Sungkung Senebeh, Jaman dahulu penduduk kampung harus
berjalan selama 2 hari menuju Entikong, dengan mendayung sampannya (Perahu) belum ada motor air.







Tranpotasi atau jalan akses melalui
jalur air sungai sekayam dan jalan darat yang mengunakan kaki
Akses jalan ini yang melalui air Sungai Sekayam
adalah menjadi jaiur utama bagi orang-orang sungkung, untuk mengujungi
Kecamatan dan Kabupatennya masing-masing dalam kepentingan mereka. Ada juga
yang melalui jalan darat dengan berjalan kaki namun makan waktu yang sangat
lama.
Wanita
Sungkung masih menggunakan gelang betis, tangan, pingul, dan leher yang masih unik (Tembaga Kuning). Menandakan
bahwa jaman dulu mereka sangat menyukai prhasan seperti itu khususnya bagi kaum
wanita seperti yang kita lihat dari 2 gambar nenek diatas.
Dibekali
ketrampilan turun temurun, penduduk Sungkung ternyata mampu membangun jembatan
gantung dengan panjang rata-rata 50 meter atau sama dengan lebar sungai Sekayam
yang merupakan sungai utama di tempat mereka. Tentu saja jembatan yang
mereka bangun tidak terbuat dari material besi dan beton, melainkan menggunakan
material lokal yang banyak terdapat di sekitar mereka yaitu berupa Bambu, Kayu dan Ijuk (Nau) yang di olah sebagai bahan
pengikat. Uniknya lagi abutment (pondasi bawah) dan
tiang pylon (menara penyangga) jembatan
dipilih dari pohon hidup yang terletak sejajar pada kedua belah bibir sungai.
Biasanya pohon yang dipilih adalah pohon Sengkuang (Dracontomelon Dao)
dan pohon Bungur (Lagerstroemia Indica) yang
banyak tumbuh di tepian sungai Sekayam.
Jembatan
Gantung Bambu
Pembangunan
jembatan dilakukan secara gotong royong. Pria maupun wanita, tua dan muda
penduduk desa serentak berkumpul di lokasi rencana pembangunan jembatan
pagi-pagi sekali. Mereka biasanya berjumlah 60 – 80 orang, tergantung
jumlah penduduk kampung yang punya gawe.
Seakan sudah mengerti tugasnya masing-masing, mereka segera saja mengambil
posisi masing-masing. Ada yang memilih dan memilah material bambu yang
sudah mereka kumpulkan sehari sebelumnya. Ada yang bertugas melangsir
material. Ada yang memasang dan merakit bambu. Ada pula yang
bertugas khusus mengikat sambungan bambu-bambu tersebut. Oh ya! tak satu
batangpun paku mereka pergunakan dalam pembangunan jembatan ini
Sementara
pembangunan jembatan berlangsung, kaum wanitanya memasak dan menyiapkan
makanan untuk mereka semua. Konstruksi jembatan dibangun dan dirakit
serentak dari dua arah sehingga bertemu tepat di tengah-tengah sungai.
Tak ada mandor atau pengawas dalam pekerjaan ini, hanya sesekali satu atau dua
orang dari mereka memberi arahan seperlunya. Gambar kerjapun tak mereka
perlukan. Semuanya disesuaikan dengan situasi dan kondisi lapangan yang
ada. Walhasil, sebelum matahari terbenam Jembatan Gantung mereka sudah selesai
dan dapat langsung dipergunakan.
Jembatan
Gantung bambu ini banyak terdapat di sepanjang Sungai Sekayam. Mereka
membangun jembatan untuk memudahkan penduduk Sungkung membawa hasil panen
ladang, sebab Sungai Sekayam sewaktu-waktu banjir dan berarus deras sehingga
sulit untuk diseberangi. Sungguh jembatan gantung yang murah dan tepat
guna. Walaupun jembatan ini hanya dapat bertahan hingga 2 tahun saja, namun
mereka kembali akan membangunnya di tempat lain lagi. Dan hanya dibangun
dalam waktu 1 hari saja! (DreamIndonesia)