Kamis, 20 Juli 2023

SEJARAH SINGKAT DAYA SUNGKUNG (Bidayuh)


SEJARAH SINGKAT DAYA SUNGKUNG (Bidayuh)
A.      Asal-Usul Dayak Bidayuh
Pasukan Perang Suku Dayak Bidayuh
Sebagaimana diceritakan oleh Kepala Adat Suku Dayak Bidayuh bapak Amin, bahwa nenek moyang Suku Dayak Bidayuh berasal dari Sungkung yang mendiami Gunung Sijakng Singulikng di wilayah Kabupaten Bengkayang yang bernama Siang Nuk Nyinukng. Keturunan-keturunan Siang Nuk Nyinukng yang menyebar atau berpindah ke daerah-daerah, yaitu: 
1.        Lipot Limang pindah dan masuk ke wilayah Sebujit Kecamatan Siding Kabupaten Bengkayang.
2.        Biu Samak Milib pindah ke wilayah Janggoi Sikalo, Subah Belatak, Jagoi Bung Jawid, yaitu suatu daerah di wilayah Bau Serawak Malaysia.
3.        Slutok Slunukng pindah ke daerah Menyuke Kabupaten Landak.
4.        Buta’ Sebangam masuk dan pindah ke wilayah Lara Senayukng (suku Bekatik), Sangau Beliok (Kampung Riok).
5.        Aloi No’nian pindah ke daerah Stas di wilayah Serawak Malaysia.
6.        Maka’, Kos Mu’Layankng dan Gonkng Maluoi pindah ke daerah Gumbang Serawak Malaysia.
7.        Mangang masuk dan pindah ke wilayah Siding Kecamatan Siding Kabupaten Bengkayang.
8.        Titi Ayunt pindah ke daerah Guun Serawak Malaysia.
9.         Obos masuk ke daerah Trenggos Serawak Malaysia.
10.    Tu’Laju pindah ke daerah Biak Serawak Malaysia.
11.    Asokng Boas masuk dan pindah ke wilayah Blimbant Serawak Malaysia.
Keturunan Lipot Limang inilah yang akhirnya dikenal sebagai Suku Dayak Bidayuh yang mendiami Desa Hli Bue di Kecamatan Siding Kabupaten Bengkayang. Salah satu penyebab keturunan Siang Nuk Nyinukng ini keluar dan menyebar dari Gunung Sijakng Singulikng adalah upaya mereka mencari lahan yang subur yang akan dimanfaatkan untuk kegiatan bercocok tanam. Faktor lain adalah mereka sering terlibat perang saudara karena sengketa tanah atau perebutan wilayah kekuasaan. Perang saudara ini sering dilakukan dengan cara mengkayau kepala musuh. Kayau atau memenggal kepala musuh di masyarakat Dayak saat ini sudah tidak lagi berlaku karena sudah masuk ke jaman modern dan mengerti  Hukun dan adat-istiadat. Hal ini seiring dengan kemajuan peradaban manusia di Kalimantan yang mulai mengenal ajaran agama. Selain itu masing-masing suku di Pulau Kalimantan mengadakan suatu perjanjian yang diprakarsai juga oleh bangsa Belanda yang dikenal dengan kesepakatan Tumbang Hanui.


B.       SUKU DAYA SUNGKUNG (Bi Sikukng)

Suku Dayak bi Sikukng atau Suku Dayak  orang Sungkung, adalah sub suku Dayak Rumpun Bidayuh yang bermukim di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau menempati 2 kampung yaitu Senutul dan Pool. Selain itu ada yang bermukim di Kabupaten Bengkayang, yang terdiri dari 7 kampung yaitu: Kampung Sungkung Senoleng, Sungkung Akit, Sungkung Kado'ok, Sungkung Lu’u, Sungkung Medeng, Sungkung Senebeh dan Sungkung Daun (Batu Ampar). Sedangkan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi adalah Bahasa Begais, walaupun mereka terpencar di dua kabupaten yang berbeda dan negara yang berbeda mereka berasal dari satu nenek moyang yang sama.

C.      Jembatan Gantung 50 Meter ini Hanya Dibangun Dalam 1 Hari
Ekspedisi Sungkung. Jika Candi Prambanan yang terkenal tersebut konon hanya di bangun dalam tempo satu malam, meskipun tak satupun hal yang dapat membuktikannya, maka Jembatan Gantung sepanjang 50 meter ini nyata-nyata berhasil dibangun  hanya dalam waktu satu hari saja.  Incredible! Adalah penduduk daerah Sungkung yang merupakan penduduk asli Kalimantan sub suku Dayak Bidayuh yang menghuni kawasan dataran tinggi puncak bukit dan dataran tinggi gunung Sungkung di perbatasan Sarawak Malaysia dengan Kalimantan Barat Indonesia yang mampu melakukan hal tersebut. Pemukiman ini terletak di Kabupaten Bengkayang dan Sanggau Kalimantan Barat dan sering disebut sebagai Sungkung Kompleks, terdiri dari 6 kampung, yaitu kampung Sungkung Batu Ampar, Sungkung Senoleng, Sungkung Akit, Sungkung Lu’u, Sungkung Medeng, dan Sungkung Senebeh . Sedangkan yang dari Kabupaten Sanggau, Kecamatan Entikong, yaitu terdiri 2 Kampung Senutul dan Pool. Pemukiman ini nyaris terisolir, sebab tidak ada jalan kendaraan darat menuju kampung tersebut.  Satu-satunya akses adalah melewati Sungai Sekayam yang penuh riam dan jeram dengan waktu tempuh sekitar 8 jam perjalanan menggunakan Sampan (Perahu) motor tempel dari pelabuhan Entikong di perbatasan Malaysia sampai kesungkung Medeng yang udah menjadi pelabuhan terakhir dibagian hulu Sungai Kekayan. Sesangkan ada juga akses jalan darat dari pelapuhan Sampan (Perahu) Pertama di Desa Suruh Tembawang dan juga tempat pembelanja orang-orang Sungkung yang dikunjungi setiap mingu sekali (hari Sabtu dan Minggu), dengan berjalan kaki sampai 3-5 jam menuju Kampung-Kampung Sungkung Kompleks, yang melewati kampung Pool , Senutul, Batu Ampar, Senoleng, sampai yang terjauh Sungkung Senebeh, Jaman dahulu penduduk kampung harus berjalan selama 2 hari menuju Entikong, dengan mendayung sampannya (Perahu) belum ada motor air.
 
Tranpotasi atau jalan akses melalui jalur air sungai sekayam dan jalan darat yang mengunakan kaki
Akses jalan ini yang melalui air Sungai Sekayam adalah menjadi jaiur utama bagi orang-orang sungkung, untuk mengujungi Kecamatan dan Kabupatennya masing-masing dalam kepentingan mereka. Ada juga yang melalui jalan darat dengan berjalan kaki namun makan waktu yang sangat lama.
wanita sungkung
Wanita Sungkung masih menggunakan gelang betis, tangan, pingul, dan leher yang masih unik (Tembaga Kuning). Menandakan bahwa jaman dulu mereka sangat menyukai prhasan seperti itu khususnya bagi kaum wanita seperti yang kita lihat dari 2 gambar nenek diatas.
Dibekali ketrampilan turun temurun, penduduk Sungkung ternyata mampu membangun jembatan gantung dengan panjang rata-rata 50 meter atau sama dengan lebar sungai Sekayam yang merupakan sungai utama di tempat mereka.  Tentu saja jembatan yang mereka bangun tidak terbuat dari material besi dan beton, melainkan menggunakan material lokal yang banyak terdapat di sekitar mereka yaitu berupa Bambu, Kayu dan Ijuk (Nau)  yang di olah sebagai bahan pengikat. Uniknya lagi abutment (pondasi bawah) dan tiang pylon (menara penyangga) jembatan dipilih dari pohon hidup yang terletak sejajar pada kedua belah bibir sungai. Biasanya pohon yang dipilih adalah pohon Sengkuang (Dracontomelon Dao) dan pohon Bungur (Lagerstroemia Indica) yang banyak tumbuh di tepian sungai Sekayam.
jembatan bambu_1 
Jembatan Gantung Bambu
Pembangunan jembatan dilakukan secara gotong royong.  Pria maupun wanita, tua dan muda penduduk desa serentak berkumpul di lokasi rencana pembangunan jembatan pagi-pagi sekali.   Mereka biasanya berjumlah 60 – 80 orang, tergantung jumlah penduduk kampung yang punya gawe. Seakan sudah mengerti tugasnya masing-masing, mereka segera saja mengambil posisi masing-masing.  Ada yang memilih dan memilah material bambu yang sudah mereka kumpulkan sehari sebelumnya.  Ada yang bertugas melangsir material.  Ada yang memasang dan merakit bambu.  Ada pula yang bertugas khusus mengikat sambungan bambu-bambu tersebut.  Oh ya! tak satu batangpun paku mereka pergunakan dalam pembangunan jembatan ini
Sementara pembangunan jembatan berlangsung,  kaum wanitanya memasak dan menyiapkan makanan untuk mereka semua.  Konstruksi jembatan dibangun dan dirakit serentak dari dua arah sehingga bertemu tepat di tengah-tengah sungai.  Tak ada mandor atau pengawas dalam pekerjaan ini, hanya sesekali satu atau dua orang dari mereka memberi arahan seperlunya.  Gambar kerjapun tak mereka perlukan.  Semuanya disesuaikan dengan situasi dan kondisi lapangan yang ada. Walhasil, sebelum matahari terbenam Jembatan Gantung mereka sudah selesai dan dapat langsung dipergunakan.
Jembatan Gantung bambu ini banyak terdapat di sepanjang Sungai Sekayam.  Mereka membangun jembatan untuk memudahkan penduduk Sungkung membawa hasil panen ladang, sebab Sungai Sekayam sewaktu-waktu banjir dan berarus deras sehingga sulit untuk diseberangi.  Sungguh jembatan gantung yang murah dan tepat guna. Walaupun jembatan ini hanya dapat bertahan hingga 2 tahun saja, namun mereka kembali akan membangunnya di tempat lain lagi.  Dan hanya dibangun dalam waktu 1 hari saja! (DreamIndonesia)

2 komentar:

  1. Masih kurang lengkap penjelasan diatas, perlu dikembangkan lagi untuk diketahui orang banyak,
    Terima kasih

    BalasHapus
  2. Perlu dilengkapkan lagi, sampai ke Adat Budaya, agar diketahui oleh anak cucu kita.
    Terima kasih

    BalasHapus